Oleh Fahrin Malau
Sejak Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002 disahkan, seharunya tidak ada lagi kekerasan terhadap anak. Tapi kenyataannya, sampai sekarang kekerasan terhadap anak masih tetap berlangsung.
Ironisnya, kekerasan yang dialami anak tidak hanya dilakukan oleh orang lain, tapi justru orang-orang terdekat seperti orangtua, saudara kandung turut ambil bagian dalam melakukan kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan yang menimpa anak, jumlahnya juga tidak sedikit.
Sebagai gambaran kasus kekerasan terhadap anak yang pernah terjadi dan berhasil dicacat beberapa lembaga, seperti YKAI tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995 sebanyak 421 dan tahun 1996 sebanyak 476. PKT-RSCM tahun 2000 - 2001 mencatat ada 118 kasus kekerasan pada anak. Dari data tersebut teridentifikasi pelaku tindakan kekerasan adalah: tetangga (37,5 %), pacar (23 %), kenalan (9,5 %), saudara (7 %), ayah kandung (5 %), majikan/atasan (2,5 %), ayah tiri (1 %), suami (1 %) dan orang tak dikenal (13,5 %). Komnas Perindungan Aanak (PA), mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan dan 547 kasus pada 2004, dengan rincian adalah 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang tahun 2006 menerima 376 kasus pengaduan, dengan rincian hak kuasa asuh dan pengangkatan anak (21,8 %), hak identitas (17,28 %), hak kesehatan dan kesejahteraan (13,56 %), tindak kekerasan terhadap anak (12,50 %), hak pendidikan (11,17 %), penelantaran (10,90 %), pelecehan seksual terhadap anak (10,30 %), penculikan anak (2,39 %). Itu baru data kekerasan terhadap anak yang berhasil dicatat oleh berbagai lembaga. Diperkirakan masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak yang tidak diketahui, mengingat kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan anak yang terjadi kepada polisi atau lembaga yang menangangi persoalan ini.
Anak adalah orang yang paling rentan mendapatkan kekerasan dari orang dewasa. Ini dikarenakan anak belum dapat melindungi diri untuk menghadapi kekerasan. Lihat saja, anak sering dijadikan objek pelampiasan kekerasan dari orang lain. Ketika terjadi pertengkaran di dalam rumah tangga, anak tidak luput dari kekerasan. Ini tidak terlepas dari siap atau tidak siapkan menjadi orang tua.
TIDAK SIAP JADI ORANGTUA
Menurut Katua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Zahrin Piliang, ketika pasangan kekasih akan melangsungkan pernikahan, apa yang mereka persiapkan? Sepasang kekasih banyak membicarakan tentang tanggal dan bulan pernikahan, gaun apa yang dipakai, menu yang disediakan, berapa undangan yang dicetak dan siapa diundang, di gedung mana respsi dan lain sebagainya.
Istri hamil, apa yang dipersiapkan? dokter nama yang akan menangani persalinan, bagaimana persalinannya. Apakah pengakat bayi telah tersedia, Siapa namanya, dan lain sebagainya. Setelah anak lahir disambut dengan suka cita oleh semua keluarga.
Anak mulai belajar berjalan. Ketika anak mulai belajar berjalan dan menabrak kursi, apa yang diucapkan orangtua. Mereka marah kepada kursi dan mangatakan “kursi kurang ajar”. Tanpa sadar orangtua telah mengajarkan hal yang salah kepada anak. Anak merasa tidak bersalah dari apa yang telah dilakukan.
Apa yang diajarkan menjadi pelajaran kepada anak. Bukankah anak adalah pencontoh terbaik. Jangan terkejut, ketika orangtua memarahi anak, anak kemudian melawan. Ini karena ketika anak masih kecil selalu membela apa yang dilakukan anak, sehingga anak merasa tidak pernah salah. Orangtua tidak pernah mengajarkan anak untuk bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan. “Disinilah, sejak awal pasangan kekasih akan melangsungkan pernikahan tidak pernah mempersiapkan diri menjadi orangtua yang baik,” ungkapnya.
Kekerasan terhadap anak terjadi karena kesalahan orangtua dalam mendidik anak. Dahulu, kita diperlakukan orangtua dengan cara didikan yang salah. Setelah dewasa dan menjadi orangtua, hal yang sama juga kita lakukan kepada anak. Waktu kecil, kita tidak mau membeli garam, orangtua memarahi dengan cara mencubit. Ketika kita dewasa dan menjadi orangtua, anak melakukan kesalahan, kita melakukan hal yang sama yaitu memukul. Ini merupakan lingkungan kekerasan yang selalu terjadi.
Anak mengenal lingkungan luar rumah. Masyarakat menyambut kehadiran anak dengan bentuk pendidikan yang sama. Misalnya, seorang dewasa menyuruh membeli rokok. Orang tersebut memberi upah berupa uang. Hari berikutnya kembali anak disuruh membeli rokok dan diberi uang dan hari berikutnya lagi orang tersebut memberi satu batang rokok kepada anak atau anak membeli rokok sendiri. Tanpa sadar, masyarakat telah mengajarkan anak untuk masuk ke gerbang narkoba.
POLA PIKIR
Masih menurut Zahrin, sekarang ini harus berubah cara pandang untuk menekan kekerasan kepada anak. Kalau kita melihat, mendengar kekerasan pada anak, kita berkewajiban mengingatkan orang tersebut, karena tidak pantas dilakukan. Orang yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak pantas mengatakan ini urusan keluarga. Tetangga boleh melaporkan ke polisi, ke lembaga KPAID agar orang tersebut tidak melakukan kekerasan.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk-bentuk kekerasan ada dua kategori yaitu kekerasan berbentuk pisik, seperti mencubit, memukul, dan berbentuk psikis seperti penghinaan. Kita senang, sekarang ini orang mulai berani melaporkan kekerasan yang terjadi. Ini harus terus ditingkatkan. Semakin tinggi kesadaran masyarakat melaporkan kekerasan terhadap anak semakin baik.
Ia mengakui, di Sumatera Utara hampir semua kabupaten dan kota, kerasa kekerasan terhadap masih tinggi. Hanya saja, laporan yang masuk masih sedikit. Dibutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk memberikan sosialisasi pentingnya melakukan pengawasan kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sementara perhatian pemerintah kabupaten dan kota masih sangat kurang. Di Sumut, masih Tapanuli Utara yang memiliki KPAID, sedangkan di Binjai dan Langkat mulai dilakukan persiapan dan di Labuhan Batu masih dalam proses.
Ketidakadanya KPAID di setiap kabupaten dan kota di Sumut menyebabkan masyarakat enggan untuk melaporkan bila terjadi kekerasan terhadap anak. Persoalan jarak yang menjadi hambatan terbesar. Harusnya pemerintah kabupaten dan kota masing-masing membentuk lembaga KPAID. Ini wajib, karena bagian dari program nasional dan menyediakan dana. Sayangnya pemerintah kalau bicara soal anak-anak kurang memberikan perhatian. Kalau pun hanya hanya sebatas kegiatan serimonial.
Sejak Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002 disahkan, seharunya tidak ada lagi kekerasan terhadap anak. Tapi kenyataannya, sampai sekarang kekerasan terhadap anak masih tetap berlangsung.
Ironisnya, kekerasan yang dialami anak tidak hanya dilakukan oleh orang lain, tapi justru orang-orang terdekat seperti orangtua, saudara kandung turut ambil bagian dalam melakukan kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan yang menimpa anak, jumlahnya juga tidak sedikit.
Sebagai gambaran kasus kekerasan terhadap anak yang pernah terjadi dan berhasil dicacat beberapa lembaga, seperti YKAI tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995 sebanyak 421 dan tahun 1996 sebanyak 476. PKT-RSCM tahun 2000 - 2001 mencatat ada 118 kasus kekerasan pada anak. Dari data tersebut teridentifikasi pelaku tindakan kekerasan adalah: tetangga (37,5 %), pacar (23 %), kenalan (9,5 %), saudara (7 %), ayah kandung (5 %), majikan/atasan (2,5 %), ayah tiri (1 %), suami (1 %) dan orang tak dikenal (13,5 %). Komnas Perindungan Aanak (PA), mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan dan 547 kasus pada 2004, dengan rincian adalah 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang tahun 2006 menerima 376 kasus pengaduan, dengan rincian hak kuasa asuh dan pengangkatan anak (21,8 %), hak identitas (17,28 %), hak kesehatan dan kesejahteraan (13,56 %), tindak kekerasan terhadap anak (12,50 %), hak pendidikan (11,17 %), penelantaran (10,90 %), pelecehan seksual terhadap anak (10,30 %), penculikan anak (2,39 %). Itu baru data kekerasan terhadap anak yang berhasil dicatat oleh berbagai lembaga. Diperkirakan masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak yang tidak diketahui, mengingat kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan anak yang terjadi kepada polisi atau lembaga yang menangangi persoalan ini.
Anak adalah orang yang paling rentan mendapatkan kekerasan dari orang dewasa. Ini dikarenakan anak belum dapat melindungi diri untuk menghadapi kekerasan. Lihat saja, anak sering dijadikan objek pelampiasan kekerasan dari orang lain. Ketika terjadi pertengkaran di dalam rumah tangga, anak tidak luput dari kekerasan. Ini tidak terlepas dari siap atau tidak siapkan menjadi orang tua.
TIDAK SIAP JADI ORANGTUA
Menurut Katua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Zahrin Piliang, ketika pasangan kekasih akan melangsungkan pernikahan, apa yang mereka persiapkan? Sepasang kekasih banyak membicarakan tentang tanggal dan bulan pernikahan, gaun apa yang dipakai, menu yang disediakan, berapa undangan yang dicetak dan siapa diundang, di gedung mana respsi dan lain sebagainya.
Istri hamil, apa yang dipersiapkan? dokter nama yang akan menangani persalinan, bagaimana persalinannya. Apakah pengakat bayi telah tersedia, Siapa namanya, dan lain sebagainya. Setelah anak lahir disambut dengan suka cita oleh semua keluarga.
Anak mulai belajar berjalan. Ketika anak mulai belajar berjalan dan menabrak kursi, apa yang diucapkan orangtua. Mereka marah kepada kursi dan mangatakan “kursi kurang ajar”. Tanpa sadar orangtua telah mengajarkan hal yang salah kepada anak. Anak merasa tidak bersalah dari apa yang telah dilakukan.
Apa yang diajarkan menjadi pelajaran kepada anak. Bukankah anak adalah pencontoh terbaik. Jangan terkejut, ketika orangtua memarahi anak, anak kemudian melawan. Ini karena ketika anak masih kecil selalu membela apa yang dilakukan anak, sehingga anak merasa tidak pernah salah. Orangtua tidak pernah mengajarkan anak untuk bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan. “Disinilah, sejak awal pasangan kekasih akan melangsungkan pernikahan tidak pernah mempersiapkan diri menjadi orangtua yang baik,” ungkapnya.
Kekerasan terhadap anak terjadi karena kesalahan orangtua dalam mendidik anak. Dahulu, kita diperlakukan orangtua dengan cara didikan yang salah. Setelah dewasa dan menjadi orangtua, hal yang sama juga kita lakukan kepada anak. Waktu kecil, kita tidak mau membeli garam, orangtua memarahi dengan cara mencubit. Ketika kita dewasa dan menjadi orangtua, anak melakukan kesalahan, kita melakukan hal yang sama yaitu memukul. Ini merupakan lingkungan kekerasan yang selalu terjadi.
Anak mengenal lingkungan luar rumah. Masyarakat menyambut kehadiran anak dengan bentuk pendidikan yang sama. Misalnya, seorang dewasa menyuruh membeli rokok. Orang tersebut memberi upah berupa uang. Hari berikutnya kembali anak disuruh membeli rokok dan diberi uang dan hari berikutnya lagi orang tersebut memberi satu batang rokok kepada anak atau anak membeli rokok sendiri. Tanpa sadar, masyarakat telah mengajarkan anak untuk masuk ke gerbang narkoba.
POLA PIKIR
Masih menurut Zahrin, sekarang ini harus berubah cara pandang untuk menekan kekerasan kepada anak. Kalau kita melihat, mendengar kekerasan pada anak, kita berkewajiban mengingatkan orang tersebut, karena tidak pantas dilakukan. Orang yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak pantas mengatakan ini urusan keluarga. Tetangga boleh melaporkan ke polisi, ke lembaga KPAID agar orang tersebut tidak melakukan kekerasan.
Lebih lanjut dikatakannya, bentuk-bentuk kekerasan ada dua kategori yaitu kekerasan berbentuk pisik, seperti mencubit, memukul, dan berbentuk psikis seperti penghinaan. Kita senang, sekarang ini orang mulai berani melaporkan kekerasan yang terjadi. Ini harus terus ditingkatkan. Semakin tinggi kesadaran masyarakat melaporkan kekerasan terhadap anak semakin baik.
Ia mengakui, di Sumatera Utara hampir semua kabupaten dan kota, kerasa kekerasan terhadap masih tinggi. Hanya saja, laporan yang masuk masih sedikit. Dibutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk memberikan sosialisasi pentingnya melakukan pengawasan kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sementara perhatian pemerintah kabupaten dan kota masih sangat kurang. Di Sumut, masih Tapanuli Utara yang memiliki KPAID, sedangkan di Binjai dan Langkat mulai dilakukan persiapan dan di Labuhan Batu masih dalam proses.
Ketidakadanya KPAID di setiap kabupaten dan kota di Sumut menyebabkan masyarakat enggan untuk melaporkan bila terjadi kekerasan terhadap anak. Persoalan jarak yang menjadi hambatan terbesar. Harusnya pemerintah kabupaten dan kota masing-masing membentuk lembaga KPAID. Ini wajib, karena bagian dari program nasional dan menyediakan dana. Sayangnya pemerintah kalau bicara soal anak-anak kurang memberikan perhatian. Kalau pun hanya hanya sebatas kegiatan serimonial.