URUSAN kepemimpinan atau imamah dalam Islam merupakan salah satu kewajiban agama di antara kewajiban lainnya, sebab agama tidak mungkin tegak tanpa memiliki pemimpin. Hal ini erat kaitannya dengan fitrah kejadian manusia, di mana setiap pribadi satu dengan yang lainnya saling membutuhkan hingga melahirkan hubungan interaksi di antara mereka dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara.
Soal pentingnya pemimpin menurut ajaran Islam didasarkan pada sejumlah ayat Al-Quran dan hadis, antara lain disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59).
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Apabila berangkat dalam perjalanan tiga orang maka hendaklah mengangkat salah seorang dari mereka menjadi pemimpin.” (HR. Abu Dawud).
Demikianlah, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam suatu urusan. Bahkan disebutkan tiga orang saja yang akan melaksanakan suatu tugas bersama dan untuk tujuan yang sama, hendaklah mengangkat salah satu di antaranya sebagai pemimpin. Dengan adanya seorang pemimpin, bila terjadi suatu perselisihan pendapat yang tidak bisa dipertemukan lagi, maka keputusannya di tangan seorang pemimpin.
Di hadis yang lain Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hanya, tingkatan kepemimpinan itu saja yang berbeda. Ada yang memimpin dalam lingkup terkecil seperti keluarga hingga yang paling besar seperti negara. Namun, di level mana pun seseorang memimpin, pasti ingin menjadi pemimpin yang sukses dan ditaati.
Pemimpin yang sukses adalah yang mampu memberikan perubahan yang lebih baik kepada yang dipimpinnya. Perubahan yang dimaksud tidak hanya yang bersentuhan dengan perkara duniawi. Justru yang lebih penting adalah perubahan yang berkaitan dengan urusan ukhrawi. Karenanya, hikmah terbesar disyariatkannya kepemimpinan pada dasarnya ialah menjaga kemaslahatan ukhrawi setiap orang.
Islam lalu mengajarkan tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang islami. Paling tidak ada dua hal penting. Pertama, bertakwa kepada Allah Swt. Ketakwaan seorang pemimpin besar sekali manfaatnya dalam mengayomi masyarakat. Kepemimpinan yang dilandasi dengan dasar takwa akan lahir suatu sistem masyarakat yang tidak mengenal diskriminasi di antara mereka, sebab pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya lebih merupakan sebagai pengabdian kepada masyarakat sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Kedua, menjadikan kepemimpinan sebagai amanah. Dalam Islam sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah dari Allah Swt, sehingga tidak saja harus dipertanggungjawabkan di dunia tetapi juga di akhirat kelak.
Dalam surat al-An’am 165 dinyatakan: “Dan Dialah yang menjadikankanmu penguasa (pemimpin) bumi dan sebagian kamu ditinggikan Tuhan beberapa derajat dari yang lain karena Tuhan hendak menguji kamu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kamu.”
Allah Swt juga berfirman dalam surah An-Nisa` 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
Rasulullah pun sudah menjelaskan: “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR. Muslim).
Mengingat kepemimpinan itu adalah amanat, maka untuk menduduki jabatan pimpinan haruslah orang yang terpilih dalam suatu forum yang mempunyai kewenangan tunggal dan yang lebih mampu dari yang lainnya, baik dari segi kepribadiannya maupun dari segi kecakapannya. Menurut Islam, sangatlah tidak etis dan tidak bermoral orang yang meminta-minta jabatan atau meminta posisi pimpinan. Rasulullah Saw sangat tidak suka terhadap hal ini, karena pemimpin yang memperoleh posisinya dengan cara semacam itu sangat sulit dipertanggungjawabkan kemungkinan berhasilnya dalam memimpin.
Suatu ketika Rasulullah menasihati sahabat Abu Bakar r.a.: “Hai Abu Bakar, urusan kedudukan itu adalah untuk orang yang tidak menginginkannya, bukan untuk orang-orang yang menonjol-nonjolkan diri dan memburunya. Ia adalah bagi orang yang memandang kecil urusan itu dan bukan bagi orang yang mengulur-ulurkan kepalanya untuk itu.”
Rasulullah memberikan nasihat kepada kita agar dalam memilih seorang pemimpin adalah orang yang ahli dan tepat, sebagaimana sabdanya: “Apabila amanat itu telah disia-siakan, maka tunggulah saat (kehancurannya). Sahabat bertanya: Bagaimana menyia-nyiakannya? Jawab Rasulullah: Apabila suatu jabatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Lantas, bagaimanakah sikap kita seandainya diberi kesempatan menjadi pemimpin? Ada hal menarik yang patut kita contoh pada diri Abu Bakar r.a ketika diangkat menjadi seorang khalifah menggantikan Rasulullah SAW. Segera setelah dibaiat Abu Bakar berpidato: “Hai umat, aku telah diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar dukunglah bersama-sama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku, betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus adalah amanat, sedang bohong dan dusta adalah penghianatan.
Kaum yang lemah diantara kamu adalah kuat dalam pandanganku hingga haknya diperolehnya. Orang yang kuat dari kalanganmu adalah lemah dihadapanku hingga aku rebut hak itu dari padanya. Perjuangan dan jihad itu sekali-kali janganlah ditinggalkan. Kaum yang meninggalkan jihad itu akan dipukul kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Dikala aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak wajib patuh lagi kepadaku.”
Selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari, Abu Bakar sebagai seorang khalifah atau pemimpin negara, dengan mencontoh Rasulullah Saw, tetap dalam kesederhanaan. Antara Abu Bakar dan rakyat tak ada tabir dan dinding pagar pembatas. Rumahnya boleh dikunjungi setiap waktu dan terbuka bagi rakyat. Ia bisa ditemui di mana saja. Pakaian, makanan, dan penghidupannya sangatlah bersahaja.
Alkisah, suatu hari Abu Bakar keluar ke Pasar Madinah memakai baju dari kulit kambing. Ketika kejadian itu dilihat keluarganya, mereka buru-buru datang kepada Abu Bakar dan berkata: “Hai khalifah, engkau sungguh-sungguh membuat malu kami di mata kaum muhajirin, Anshar, dan orang Arab.” Lalu Abu Bakar menjawab: “Apakah kamu bermaksud agar aku menjadi seorang Raja yang angkuh di zaman Jahiliyah dan angkuh di zaman Islam?”
Ketika Abu Bakar hendak meninggal, ia berkata kepada putrinya Aisyah: “Hai Aisyah, unta yang kita minum susunya, juga bejana tempat kita mencelupkan pakaian, serta baju qathifah yang saya pakai, semuanya hanya dapat kita gunakan selama saya berkuasa. Dan bila aku meninggal, seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar.” Maka ketika Abu bakar meninggal, Aisyah mengembalikan semua barang tersebut kepada Umar bin Khaththab.
Kisah yang lainnya, tatkala seorang wanita kampung bernama Unaisar berkata: “Hai Abu Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti sebelum menjadi khalifah?” Jawab Abu Bakar: “Insya Allah aku akan tetap bersedia menolong kamu.” Demikianlah sosok Abu Bakar sebagai kepala negara yang telah berhasil menaklukkan dua kerajaan besar (Syiria dan Persia) masih menyediakan waktu untuk memeraskan susu kambing untuk para wanita sekampungnya.
Sekarang, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga harus mencontoh apa adanya sikap dan kepribadian Abu Bakar tersebut. Tentu tidak demikian, karena situasi dan kondisi sejarah sangatlah jauh berbeda dengan zaman khalifah Abu Bakar. Namun demikian, paling tidak kita harus mencontoh kesederhanaannya sebagai seorang pemimpin, tak sewenang-wenang, jauh dari gaya hidup mewah, tiada angkuh dan tidak sombong.
Sumber: http://ikdar.com/